Antara Dendam dan Penyesalan

Bab 5



Maisha menatap Harvey dengan bingung. Dia tidak pernah mendengar kabar bahwa Harvey telah menikah.

“Tuan Harvey, kami telah tinggal di luar negeri selama bertahun-tahun dan tidak mengetahui berita di dalam negeri. Apa hubungan putriku dengan kamu?”

Harvey menatap Maisha dengan tenang, lalu berujar dengan wajah tanpa ekspresi, “Meskipun ada hubungan, itu sudah berlalu. Sekarang aku sedang dalam proses perceraian.”

Selena tidak menyangka bahwa ketulusannya selama bertahun-tahun hanya menjadi masa lalu yang terucap dari bibir Harvey. Marah? Tentu saja Selena marah.

Yang lebih membuatnya patah hati adalah dirinya yang buta ini telah menganggap makhluk yang sadis bagaikan hewan itu sebagai harta yang berharga.

Selena mengeluarkan kotak cincin berlian, lalu melemparkannya dengan keras ke kepala Harvey sambil berkata, “Bajingan, berengsek! Hal yang paling aku sesali dalam hidupku adalah berhubungan denganmu. Besok jam sembilan kita ke Kantor Catatan Sipil. Yang tidak datang adalah pecundang!

Kotak itu menghantam kening Harvey hingga memerah, lalu benda itu terjatuh ke lantai. Cincin pun terlempar ke sisi kakinya. Kali ini Selena tidak lagi melirik Harvey sama sekali. Dia langsung menginjak cincin itu dan pergi setelah membanting pintu.

Selama dua tahun terakhir, Selena sudah mengalami banyak hal. Hal kali ini seperti menjadi puncak dari segala beban yang dia tanggung. Dia tidak bisa bertahan lebih lama lagi, akhirnya dia pun pingsan di pinggir jalan.

Melihat tetesan hujan yang tak henti-hentinya turun dari langit, dunia ini bagaikan sedang bermusuhan dengannya. Dia merasa ingin mati saja. Di dunia yang penuh tipu daya ini, dia tidak memiliki apa pun yang bisa dirindukan.

Saat terbangun lagi, Selena berada di sebuah kamar yang asing. Cahaya kuning yang hangat mengusir kegelapan, suhu hangat di ruangan itu terasa seperti musim kemarau.

“Kamu sudah bangun.” Selena membuka matanya dan melihat mata Lewis yang lembut. “Kak Lewis, kamu yang menyelamatkanku?”

“Aku melihatmu pingsan di pinggir jalan saat aku pulang kerja, jadi aku bawa kamu pulang. Aku lihat bajumu basah kuyup, jadi aku suruh pembantu untuk mengganti bajumu.”

Pria itu memiliki tatapan mata yang jernih, bersih, dan tulus, tanpa sedikit pun nafsu. “Terima kasih, Kak,” ujar Selena. “Aku sudah memasak bubur, kamu minum air hangat dulu.”

Selena membuka selimut dan turun dari tempat tidur. “Tidak perlu, Kak. Sudah larut malam, aku tidak akan mengganggumu lagi,” ujar Selena.

Selena yang bertubuh lemah, langsung terjatuh ke tanah saat kakinya baru saja menyentuh lantai. Lewis dengan cepat menolongnya berdiri, aroma deterjen yang harum dari tubuh pria itu tercium di hidung Selena.

Ini sama seperti deterjen pakaian yang dipakai di rumahnya. Tubuh Harvey dulu juga berbau seperti ini. Setiap kali memikirkan Harvey, pasti ada rasa sakit yang menusuk hatinya.

“Kamu sekarang terlalu lemah. Jika ingin hidup lebih lama, jangan terlalu memaksakan diri.” Lewis menasihati dengan lembut, “Anggap saja ini demi ayahmu.”

Mata Selena yang tidak tadinya bersinar, saat ini baru saja menunjukkan sedikit harapan. “Kalau begitu, aku akan merepotkanmu,” kata Selena.

Selena melihat pria itu sedang sibuk di dapur. Sebenarnya Selena dan Lewis tidak sering berhubungan. Selena baru saja masuk tahun pertama kuliah saat Lewis sudah di tahun keempat. Lewis yang menyerahkan penghargaan kepada Selena ketika Selena terpilin sebagai mahasiswa teladan.

Waktu itu, Lewis sudah magang di rumah sakit terkenal. Dia jarang berada di kampus. Kemudian, Selena bertemu Lewis di rumah sakit. Setelah itu, barulah Selena dan Lewis mulai lebih sering berhubungan.

Hubungan ini tidak bisa menjadi alasan bagi Selena selalu merepotkan Lewis. Selena baru merasa perutnya sedikit lebih nyaman setelah makan bubur dan minum obat mag.

Lewis kembali membahas masalah kemoterapi. “Ilmu kedokteran sekarang sangat canggih. Kamu baru di stadium lanjut, beberapa pasien kanker stadium lanjut masih bisa hidup. Jadi kamu harus percaya pada dirimu sendiri. Kemoterapi adalah cara pengobatan yang sangat efektif,” jelas Lewis.

Selena menundukkan kepalanya sambil berkata, “Aku juga mahasiswa kedokteran, aku tahu manfaat dan efek samping kemoterapi.”

Lewis melanjutkan nasihatnya, “Kesempatan sembuh setelah kemoterapi dan operasi sangat besar. Efek sampingnya memang besar, tetapi jika kamu memiliki keyakinan untuk bertahan ... ”

Selena perlahan mendongak. Matanya berkaca-kaca. Dia menggunakan seluruh kekuatannya untuk menahan air matanya agar tidak jatuh. Bibirnya bergetar dan suaranya gemetar saat berkata, “Tetapi ... aku sudah tidak tahan lagi.”Content rights by NôvelDr//ama.Org.

Lewis ingin menghibur Selena, tetapi kata-katanya terhenti di bibirnya. Dia tidak bisa mengatakan apa pun saat melihat mata Selena yang memerah. Hati Lewis terasa agak tersumbat.

Setelah beberapa saat, dia bertanya, “Selena, apakah tidak ada orang yang kamu pedulikan di dunia ini?” Selena terdiam sejenak, lalu perlahan menjawab, “Hanya ayahku.” “Kalau begitu, demi ayahmu, kamu juga harus hidup dengan baik.”

Selena tersenyum pahit sambil berkata, “Terima kasih, Kak. Aku sudah merasa tubuhku jauh lebih nyaman, aku tidak akan mengganggumu lagi.”

Lewis melihat bahwa cincin kawin Selena yang tidak pernah lepas dari tangannya itu telah menghilang. Dia hendak mengatakan sesuatu, tetapi pada akhirnya tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.

“Kamu mau ke mana? Aku akan mengantarmu.”

“Tidak perlu. Aku sudah memanggil taksi, sebentar lagi akan tiba.” Selena menolak dengan tegas, sehingga Lewis pun hanya bisa setuju. Namun, Lewis memiliki pemikiran lain. Selena tampak sedih saat mengatakan hal itu tadi, sehingga Lewis takut Selena akan bunuh diri, jadi dia diam-diam mengikuti Selena dari belakang.

Mobil melaju hingga ke tepi sungai. Selena sendirian melamun sambil menatap air sungai. Meskipun hujan telah berhenti, suhu udara tetap masih sangat rendah. Lewis awalnya ingin menghampirinya untuk membujuk Selena, tetapi sebuah MPV tiba-tiba berhenti di samping Selena.

Pintu mobil terbuka, seorang pria berpenampilan elegan yang telah lama menjadi topik utama di majalah ekonomi muncul di bawah lampu jalan.

Lewis terkejut, lalu bertanya-tanya dalam hati, “Apa mungkin suami Selena adalah dia?!”

Angin sungai meniup rambut Selena, menambah kesan kesedihan pada dirinya yang sudah terlihat pucat. Harvey secara tidak sadar mengangkat tangannya dan ingin menyelipkan rambut Selena ke belakang telinga, tetapi dia segera menahan keinginan itu.

“Ada masalah?” Selena menatapnya dengan sorot mata yang dingin, seolah mengenali wajah pria itu dengan jelas.

“Apakah kebangkrutan Keluarga Bennet ada hubungannya denganmu?” tanya Selena.

“Ya” Selena bertanya dengan cuek, sementara Harvey menjawab dengan lebih tegas. “Apakah anak itu adalah anakmu?” Selena mengajukan pertanyaan kedua.

Matanya menatap Harvey tanpa berkedip. Selena sangat berharap bahwa dirinya sendirilah yang telah berpikir terlalu jauh. Namun, Harvey justru tidak berniat untuk menyangkal, bahkan pria itu menjawab dengan tenang, “Ya.”

Selena maju dua langkah, lalu menampar wajah Harvey sambil berseru, “Harvey, kamu tidak tahu malu!”

Pria itu dengan mudah menangkap pergelangan tangan Selena, lalu satu tangannya yang lain membelai bekas air mata di wajah Selena. “Sakit?” tanya Harvey.

“Dasar bajingan! Kenapa kamu harus memperlakukanku seperti ini? Memangnya apa kesalahan yang telah Keluarga Bennet lakukan padamu?!”

Harvey menatap Selena dengan tatapan dingin dan tanpa belas kasihan. Dengan suaranya terdengar dingin dan menusuk, Harvey berkata, “Selena, jika kamu ingin tahu jawabannya, kamu bisa pulang dan bertanya pada ayahmu sendiri apa yang telah dia lakukan.”

Selena bertanya dengan suara terbata-bata, “Harvey, apakah kamu pernah mencintaiku?”

Dengan sepasang mata hitam yang menunjukkan ketidakpedulian, Harvey dengan perlahan menjawab, “Tidak. Sejak awal, kamu hanyalah sebuah bidak di tanganku.”

Air mata Selena mengalir deras hingga jatuh di punggung tangan Harvey. Angin dingin berembus, dan kehangatan yang tersisa pun dengan cepat menjadi dingin.

“Kamu membenciku, ‘kan?”

“Ya. Ini adalah utang Keluarga Bennet padaku. Selena, siapa suruh kamu adalah putrinya Arya? Aku ingin kamu hidup setiap hari dalam kesakitan untuk menebus dosa demi adikku!”

“Bukankah adikmu sudah lama hilang? Apa hubungannya dengan Keluarga Bennet?”

Harvey menatap Selena dengan rasa merendahkan. Dia merasa seolah-olah dirinya adalah sosok paling berkuasa di dunia ini yang hendak menghukum Selena. “Selena, saat kamu menikmati semua kasih sayang dari semua orang, adikku mengalami siksaan yang tidak manusiawi. Kamu bisa menebaknya sendiri, aku tidak akan memberitahumu kebenarannya. Aku ingin membuatmu hidup dalam ketakutan selamanya, dan merasakan semua penderitaan yang dialami adikku!” seru Harvey.

Harvey masuk ke mobil sambil meninggalkan sepatah kata dengan nada bicara yang dingin, “Besok jam sembilan, aku tunggu kamu di Kantor Catatan Sipil.”

Selena dengan cepat mengejarnya dan terus-menerus memukul pintu mobil. “Katakan dengan jelas, apa yang terjadi dengan adikmu?” tanya Selena.

Mobil itu melaju dengan cepat begitu pedal gas diinjak. Selena pun kehilangan keseimbangan tubuhnya hingga terjatuh ke tanah dengan keras.


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.